Rabu, 23 Januari 2013
METODE
PEMBELAJARAN
UNTUK
ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
oleh
EL VIKA MAR
ATUL KHUSNA
12/329653/TP/10364
1. Pendahuluan
Setiap
anak berpotensi mengalami masalah dalam belajar. Ada anak yang memiliki masalah ringan sehingga tidak memerlukan
perhatian khusus dari orang lain, tetapi
ada yang memiliki masalah cukup serius
sehingga perlu mendapatkan perhatian dan bantuan dari orang lain. Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki
perbedaan dengan anak-anak umum seusianya. Anak dikatakan berkebutuhan khusus
jika ada sesuatu yang kurang atau lebih dalam dirinya. Menurut Heward, anak
berkebutuhan khusus adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan
anak pada umumnya tanpa selalu menunjukkan ketidakmampuan mental, emosi, atau
fisik. (Suryaningsih, 2011, http://blog.uin-malang.ac.id/ansur/2011/06/14/strategi-pembelajaran-bagi-anak-berkebutuhan-khusus/)
Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memerlukan
penanganan khusus sehubungan dengan gangguan perkembangan dan kelainan yang
dialaminya. Anak berkebutuhan khusus memang tidak selalu mengalami masalah
dalam belajar, namun ketika mereka diinteraksikan dengan anak sebaya lainnya
dalam sistem pendidikan reguler, ada hal-hal tertentu yang harus mendapatkan
perhatian khusus dari guru dan sekolah. Anak tersebut membutuhkan metode,
material, pelayanan, dan peralatan tertentu agar dapat mencapai perkembangan
yang optimal karena anak-anak tersebut biasanya belajar dengan kecepatan dan
cara yang berbeda. Walaupun demikian, mereka berhak mendapatkan perlakuan dan
kesempatan yang sama.
Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk menjelaskan
definisi anak berkebutuhan khusus, mengidentifikasi jenis dan karakteristik
dari anak berkebutuhan khusus, dan menjelaskan strategi pembelajaran yang tepat
untuk mengoptimalkan potensi anak berkebutuhan khusus.
Ruang lingkup masalah dalam makalah ini, yaitu
definisi anak berkebutuhan khusus, jenis dan karakteristik dari anak berkebutuhan
khusus, dan metode yang tepat untuk anak berkebutuhan khusus.
2. Metode
Pembelajaran untuk Anak Berkebutuhan Khusus
Anak
berkebutuhan khusus adalah anak yang memerlukan penanganan khusus sehubungan
dengan gangguan perkembangan dan kelainan yang dialaminya. Anak yang berkebutuhan
khusus dapat dikelompokkan berdasarkan gangguan atau kelainan pada aspek fisik (cerebral palsy,
polio), kognitif (retardasi mental, anak berbakat), bahasa atau bicara, pendengaran, penglihatan, dan sosial emosi.
Metode pembelajaran pada
dasarnya adalah pendayagunaan secara tepat dan optimal semua komponen yang
terlibat dalam proses pembelajaran yang meliputi tujuan, materi pelajaran,
media, metode, siswa, guru, lingkungan belajar, dan evaluasi sehingga proses
pembelajaran berjalan dengan efektif dan efisien. Metode pembelajaran untuk anak berkebutuhan khusus
pada dasarnya berbeda tergantung masalah atau kelainan pada anak. Dalam makalah
ini akan diidentifikasi karakteristik dan pelayanan khusus untuk anak-anak
tunanetra, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, dan tunarungu, sehingga dapat
diketahui metode pembelajaran yang tepat bagi masing-masing kelainan (Admin, 2012,
http://slb-kbatam.org/index.php?pilih=hal&id=76).
Anak penderita tunanetra
adalah anak yang memiliki hambatan dalam penglihatan atau tidak berfungsinya
indera penglihatan. Tunanetra dapat terjadi sebelum dan sejak lahir, pada usia
sekolah, usia dewasa, hingga usia lanjut. Tunanetra dapat disebabkan oleh
faktor keturunan, terjadinya kerusakan pada mata atau syaraf, penyakit mata
lain yang menyebabkan ketunanetraan sperti trachoma, dan akibat kecelakaan.
Karakteristik anak tunanetra secara fisik sebenarnya tidak berbeda jauh dengan
anak sebaya lainnya kecuali pada organ penglihatannya. Gejala fisik yang dapat
diamati, misalnya mata juling, sering berkedip, menyipitkan mata, kelopak mata
merah, gerakan mata cepat tak beraturan, dan mata selalu berair.
Keluhan-keluhan lainnya, yaitu mata gatal, panas, pusing, dan kabur atau
penglihatan ganda. Dari segi IQ, tidak berbeda jauh dengan anak normal, yaitu
ada pada batas atas sampai batas bawah (Admin, 2012, http://slb-kbatam.org/index.php?pilih=hal&id=76).
Seorang tunanetra biasanya mengalami
hambatan kepribadian seperti curiga terhadap orang lain, perasaan mudah
tersinggung, dan ketergantungan yang
berlebihan. Interaksi
bagi anak tunanetra diperoleh melalui proses belajar, bimbingan, dan latihan. Pengaruh internal
maupun eksternal yang positif dan negatif secara langsung atau tidak langsung
akan memengaruhi anak tunanetra dalam berinteraksi. Untuk menghindari
terjadinya perilaku yang kurang baik pada anak tunanetra dalam bergaul perlu
ditanamkan kemauan yang kuat, karena kemauan yang kuat dapat menimbulkan kepercayaan diri. Anak tunanetra mampu membedakan antara perilaku yang baik
dan kurang baik dalam berinteraksi
dengan lingkungannya melalui program pengembangan interaksi sosial. Strategi khusus dan isi layanan
pendidikan bagi anak tunanetra menurut Hardman (1990: 167), setidaknya
meliputi tiga hal. Pertama, mobility training and daily living skill, yaitu latihan berjalan, orientasi tempat dan ruang dengan
berbagai sarana yang diperlukan, dan latihan keterampilan kehidupan keseharian yang berkaitan
dengan pemahaman uang, belanja, mencuci, memasak, kebersihan diri, dan membersihkan
ruangan. Kedua, tradisional curriculum content
area, yaitu orientasi dan mobilitas, keterampilan berbahasa termasuk
ekspresinya, dan keterampilan
berhitung. Ketiga,
communication media, yaitu penguasaan
Braille dalam komunikasi.
Untuk membantu proses pembelajaran bagi penderita tunanetra
digunakan alat pendidikan yang terdiri dari alat pendidikan khusus dan alat
peraga. Alat pendidikan khusus yang digunakan, yaitu reglet dan pena, mesin tik
Braille, printer Braille, dan abacus. Untuk alat bantunya sebagai alat bantu
perabaan, misalnya dengan buku, air panas atau dingin, dan batu. Alat bantu
pendengaran dengan kaset, CD, dan talkingbooks.
Selain itu, digunakan alat peraga audio, yaitu alat peraga yang diamati melalui
perabaan atau pendengaran seperti patung hewan, patung tubuh manusia, dan peta
timbul. Metode pembelajaran yang sesuai untuk anak tunanetra, antara lain
metode deduktif dan induktif (berdasarkan pengolahan pesan), metode ekspositorik
dan heuristik (berdasarkan pihak pengolah
pesan), metode seorang guru dan beregu (berdasarkan
pengaturan guru), metode klasikal, kelompok kecil, dan individual (berdasarkan
jumlah siswa), metode tatap muka dan melalui media (berdasarkan interaksi guru
dan siswa), metode individualisasi, kooperatif, dan modivikasi perilaku.
Anak penderita tunagrahita adalah anak yang mengalami
keterbelakangan mental. Anak tunagrahita memiliki IQ 70 ke bawah. Penggolongan
anak tunagrahita untuk keperluan pembelajaran dibedakan menjadi educable, trainable, dan Icustodia. Educable adalah anak yang
masih mempunyai kemampuan dalam akademik setara dengan anak reguler pada kelas
lima sekolah dasar. Trainable adalah
anak yang mempunyai kemampuan dalam mengurus diri sendiri, pertahanan diri, dan
penyesuaian sosial tetapi sangat terbatas kemampuannya untuk mendapatkan
pendidikan secara akademik. Icustodia
adalah anak yang membutuhkan pemberian latihan terus menerus dan khusus,
sehingga dapat melatih anak tentang dasar-dasar cara menolong diri sendiri dan
kemampuan yang bersifat komunikatif. Tunagrahita disebabkan oleh kerusakan atau
kelainan biokimiawi dan abnormalitas kromosomal, namun dapat juga disebabkan
oleh infeksi Rubella (cacar), faktor Rhesus (Rh), akibat infeksi misalnya meningitis
(peradangan pada selaput otak) dan problema nutrisi, kekurangan gizi atau protein,
faktor sosial budaya lingkungan, gangguan metabolisme, Phenylketonuria, Gargoylisme, Cretinisme,
gangguan saat kehamilan, dan gangguan jiwa berat. Karakteristik anak
tunagrahita, yaitu lamban dalam mempelajari hal-hal baru, kesulitan dalam menggeneralisasi
dan mempelajari hal-hal baru, kemampuan
bicaranya kurang, cacat fisik, kesulitan perkembangan gerak, kurang dalam kemampuan
menolong diri sendiri, interaksi yang tidak lazim, dan tingkah laku kurang
wajar (Admin, 2012, http://slb-kbatam.org/index.php?pilih=hal&id=76).
Anak tunagrahita
memiliki kebutuhan khusus untuk mengoptimalkan potensinya. Menurut Astati dan Mulyati (2010: 26), anak-anak
tunagrahita memiliki potensi dalam belajar yang erat kaitannya
dengan berat dan ringannya ketunagrahitaan, sehingga
membutuhkan pelayanan khusus. Kebutuhan khusus yang dimaksud adalah kebutuhan layanan pengajaran yang sama dengan siswa lainnya dengan tambahan pengertian guru, teman-teman, dan tambahan waktu untuk mempelajari sesuatu. Dibutuhan juga layanan
pembelajaran yang sangat khusus, seperti program stimulasi dan intervensi dini yang meliputi terapi bermain, okupasi, terapi bicara, kemampuan
memelihara diri dan belajar akademik. Anak tunagrahita membutuhkan
lingkungan belajar seperti pengaturan tempat duduk yang disesuaikan kondisi, membutuhkan konteks dan orientasi cerita yang dimulai dari
hal yang konkret kemudian ke hal abstrak untuk mengembangkan kemampuan bina dirinya. Dalam hal
berinteraksi membutuhkan hal-hal yang membuat
dirinya merasa menjadi bagian dari yang lain, kebutuhan untuk menemukan
perlindungan dari hal negatif, kebutuhan akan
kenyamanan sosial, dan kebutuhan untuk menghilangkan kebosanan dengan adanya
stimulasi sosial untuk mengembangkan kemampuan sosial
dan emosi. Beberapa keunggulan anak tunagrahita yang
akan membawa mereka pada hubungannya dengan orang lain, yaitu spontanitas yang wajar dan positif, kecenderungan untuk
merespon orang lain dengan baik dan hangat, kecenderungan merespon pada orang
lain dengan jujur, dan kecenderungan untuk mempercayai orang lain.
Anak tunadaksa adalah anak yang memiliki kelainan
cacat tubuh atau gangguan kesehatan. Penyebab
tunadaksa, misalnya karena terjadi
infeksi penyakit, kelainan kandungan, kandungan radiasi, saat mengandung ibu mengalami trauma, proses kelahiran terlalu
lama, proses kelahiran dengan pemakaian anestesi berlebih, infeksi penyakit, dan
Ataxia. Anak
tunadaksa akan mengalami gangguan psikologis sehingga cenderung merasa malu, rendah diri, sensitif, dan memisahkan diri dari lingkungannya (Admin, 2012, http://slb-kbatam.org/index.php?pilih=hal&id=76).
Pada pendidikan bagi anak tunadaksa, guru mempunyai peranan
ganda disamping sebagai pengajar, pendidik juga sebagai pelatih. Tujuan
pendidikan anak tunadaksa
berhubungan dengan aspek rehabilitasi fungsi fisik dan berkaitan dengan
pendidikan yang mengacu pada tujuan pendidikan nasional untuk mengembangkan
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Ada tujuh
aspek yang perlu dikembangkan pada diri masing-masing anak tunadaksa melalui
pendidikan, yaitu pengembangan
intelektual dan akademik, perkembangan fisik, perkembangan emosi dan penerimaan
diri anak, pematangkan
aspek sosial, pematangkan
moral dan spiritual, peningkatan
ekspresi diri, dan persiapan
masa depan anak. Prinsip khusus
pendidikan bagi anak tunadaksa
terdiri dari prinsip multisensori dan prinsip individualisasi. Multisensori
berarti banyak indera, maksudnya dalam proses pendidikan pada anak tunadaksa
sedapat mungkin memanfaatkan dan mengembangkan indera-indera yang ada dalam
diri anak agar pendidikan yang diterimanya lebih baik. Prinsip individualisasi
berarti kemampuan masing-masing diri individu lebih dijadikan titik tolak dalam memberikan
pendidikan pada mereka. Model layanannya dapat berbentuk individual dan
klasikal pada individu yang cenderung memiliki kemampuan hampir sama. Layanan tersebut diberikan
pada siswa sesuai dengan kemampuan masing-masing anak. Layanan pendidikan untuk anak tunadaksa dapat
dilakukan dengan pendekatan wali
kelas, guru bidang studi, campuran dan pengajaran tim (Somantri dan Sutjihati, 2007: 89).
Anak
Tunadaksa memerlukan bimbingan belajar membaca, menulis, dan berhitung. Ketiga
kemampuan dasar ini perlu memperoleh layanan sedini mungkin sesuai dengan
kebutuhan masing-masing anak ketika
telah memasuki program sekolah dasar. Untuk mempersiapkan masa depan anak, di
sekolah juga perlu adanya pembinaan
karier. Pengertian karier tidak dipandang hanya sebagai pekerjaan yang
diberikan pada tamatan sekolah menengah atas, tetapi dibutuhkan oleh semua siswa
sejak Taman Kanak-Kanak sampai Perguruan Tinggi. Pada jenjang TKLB dan SDLB
materi pembahasannya adalah untuk memberikan pengertian dasar mengenai kemungkinan
pekerjaan dalam hidup dan memberikan kesadaran bahwa sekolah memberi kesempatan
untuk bereksplorasi dalam mempersiapkan kehidupan kelak.
Anak
tunalaras adalah anak yang
mengalami hambatan dalam menyesuaikan diri dengan
lingkungan sosial maupun dalam bertingah laku
di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Untuk mengenal Anak tunalaras dilakukan psikotest sehingga
diketahui kematangan sosial dan ganguan emosi, sosimetri untuk mengetahui suka atau tidaknya seseorang, konsultasi psikolog, konsultasi ke psikiari anak, dan membandingkan dengan anak seusianya. Anak
tunalaras disebabkan
oleh berbagai faktor, antara lain kondisi keluarga yang tidak harmonis, kurangnya kasih sayang
orangtua karena kehadirannya tidak diharapkan, kemampuan
sosial dan ekonomi rendah, adanya
konflik budaya, berkecerdasan
rendah atau kurang dapat mengikuti tuntutan sekolah, adanya pengaruh negatif
dari kelompok, adanya
ganguan atau kerusakan pada otak,
dan memiliki ganguan kejiwaan bawaan. Perilaku anak tunalaras ditandai dengan kecenderungannya menyendiri, melarikan diri, tidak bertanggungjawab, berdusta, mencuri, menyakiti orang lain atau
sebaliknya, ingin
dipuji, tidak
mau menyulitkan orang lain, penakut, kurang pencaya diri, tidak mempunyai insiatif, sangat tergantung pada
orang lain, agresif terhadap diri
sendiri, curiga, acuh tak acuh, banyak mengkhayal, sering minta maaf, mengeluh, segan melakukan hal-hal
baru atau yang
dapat mengungkap kekurangan, selalu
ingin sempuna, tidak puas dengan apa yg diperbuat, tertutup, murung, cepat merasa
tersinggung, merasa tidak enak badan, berpura-pura lebih dari
orang lain, membuat
kompensasi, dan melakukan
perbuatan jahat
(Somantri dan Sutjihati, 2007: 104).
Fasilitas pendidikan untuk anak
tunalaras relatif sama dengan fasilitas pendidikan untuk anak normal. Fasilitas ruangan kelas tidak
menggunakan benda-benda kecil yang terbuat dari bahan yang keras, sehingga
mempermudah mereka untuk mengambil dan melemparnya. Fasilitas lain lebih
berkaitan dengan ruangan terapi dan sarana terapi. Terapi tesebut meliputi ruangan fisioterapi dan peralatannya,
yaitu peralatan yang lebih diarahkan pada upaya peregangan otot, sendi, dan pembentukan otot, misalnya barbel dan box tinju. Ruangan terapi bermain dan
peralatannya, yaitu peralatan yang lebih diarahkan pada model terapi sublimasi dan
latihan pengendalian diri, misalnya puzzle dan boneka . Ruangan terapi okupasi dan peralatannya, yaitu peralatan
yang lebih diarahkan pada pembentukan keterampilan kerja dan pengisian waktu luang sesuai dengan kondisi
anak. Metode pembelajaran bagi anak
tunalaras dapat dilakukan dengan
model-model pendekatan seperti model
biogenetik, model
tingkah laku, model
psikodinamika, dan model
ekologis (Sujana, 1991: 54).
Anak
tunarungu adalah anak yang kehilangan seluruh atau sebagian daya
pendengarannya sehingga
mengalami gangguan
berkomunikasi secara verbal.
Secara
fisik, anak tunarungu tidak berbeda dengan anak-anak pada umumnya sebab orang akan
mengetahui bahwa
anak menyandang tunarungu pada saat berbicara. Mereka berbicara tanpa
suara atau dengan suara yang
kurang dan tidak jelas
artikulasinya bahkan tidak berbicara
sama sekali. Keterampilan menulis bagi anak tunarungu merupakan hal mendasar dan penting
sebab dalam proses belajar mengajar, menulis merupakan alat utama unjuk mengerjakan tugas-tugas akademik, sarana
memperdalam pengetahuan, metode efektif menggali ide, mengasah daya pikir
siswa, juga merupakan prasyarat anak tunarungu untuk dapat berintegrasi ke sekolah
umum melalui pendidikan terpadu atau inklusi.
Bagi anak tunarungu keterampilan menulis merupakan
bahasa yang sulit dan memberikan frustrasi besar. Penyebab kesulitan tersebut karena anak
tunarungu
telah kehilangan kemampuan mendengar. Ketidakmampuan mendengar secara
otomatis menghambat keseluruhan perkembangan berbahasa berbicara, membaca, dan
menulis. Meskipun demikian, umumnya anak tunarungu mempunyai potensi belajar berbahasa
secara normal, mencakup kefasihan dalam berkomunikasi antar pribadi, kemampuan
membaca deretan bahan cetak dan kemampuan menulis kalimat runtut. Kemampuan menulis anak
tunarungu dapat
berkembang bila seluruh potensinya dibina dan dikembangkan melalui penggunaan bahasa isyarat dan
optimalisasi penyerapan visual dengan visualisasi pola-pola pembelajaran
(gambar, foto, benda konkret, diagram), pemanfaatan sisa pendengaran, bina
persepsi bunyi dan irama, berbicara, membaca, dan menulis (Berk dan Winsler, 1995: 88).
Potensi keterampilan menulis anak
tunarungu pada kenyataanya belum dikembangkan secara maksimal oleh guru-guru
tunarungu. Masalah yang seringkali terjadi, yaitu guru-guru tunarungu mengeluh
kesulitan mengajarkan menulis, pengajaran mengarang kurang mendapat perhatian guru
dibandingkan dengan pengajaran berbicara, struktur tulisan siswa terbolak-balik,
siswa kurang lancar dalam mengembangkan karangan, dan banyak membuat kesalahan
bentuk konvensional. Salah satu alternatif pemecahan masalah tersebut adalah
penerapan pembelajaran menulis dengan pendekatan proses karena pendekatan tersebut menekankan
menulis dengan pelibatan penuh perhatian siswa dalam perencanaan pada tahap
pramenulis, pengajaran langsung keterampilan saat menulis, dan bantuan melalui
pelatihan (Stahlman dan Luckner, 1991: 316). Secara umum metode
yang biasa digunakan untuk anak tunarungu antara lain strategi deduktif,
induktif, heuristik,
ekspositorik, klasikal, kelompok, individual, kooperatif, dan modivikasi perilaku.
2. Penutup
Dari penjelasan-penjelasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa anak berkebutuhan khusus
adalah anak yang memerlukan penanganan khusus
sehubungan dengan gangguan perkembangan dan kelainan yang dialaminya. Anak berkebutuhan khusus
dapat dikelompokkan berdasarkan ganngguan atau kelainan pada aspek fisik (cerebral palsy,
polio), kognitif (retardasi mental, anak
berbakat), bahasa
atau bicara, pendengaran, penglihatan, dan sosial emosi. Pembelajaran untuk anak berkebutuhan khusus pun
berbeda tergantung pada kelainan yang dialami anak, namun metode pembelajaran
yang biasanya diterapkan adalah metode individualisai, kooperatif, dan
modivikasi perilaku.
Sehubungan dengan metode pembelajaran untuk anak
berkebutuhan khusus, beberapa saran yang diberikan, yaitu hendaknya guru menerapkan
metode yang cocok untuk anak didiknya sesuai dengan kelainan yang dialami
dengan mempertimbangkan karakteristik masing-masing anak, orangtua dan guru
harus memahami kekurangan anak berkebutuhan khusus sehingga dapat memotivasi
anak agar dirinya dapat berkembang, dan
orangtua hendaknya lebih perhatian kepada anak, rajin mengecek
perkembangan anak maupun memeriksakan kesehatannya.
DAFTAR PUSTAKA
Astati dan Mulyati. 2010. Pendidikan dan Pembinaan Karier Penyandang Tunagrahita
Dewasa.
Jakarta: Depdikbud, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Proyek Pendidikan
Tenaga Akademik.
Berk,
Laura dan Adam Winsler. 1995. Scaffoldy
Children’s Learning:Vygotsky Early Childhood Education. New York: National
Assotiation for the Education of Young Children.
Hardman, Michael. 1990. Human Exceptionality, 3rd
Edition. Toronto: Allyn & bacon.
Somantri dan Sutjihati. 2007. Psikologi
Anak Luar Biasa. Bandung: Reflika Aditama.
Sthalman, Barbara, dan John Luckner. 1991. Effectively Educating Students with Hearing
Impairments. New York: Longman.
Sujana. 1991. Pendidikan
Luar Sekolah.
Bandung: Nusantara Press.
Daftar Laman
Suryaningsih,
Ana. 2011. Strategi Pembelajaran bagi Anak Berkebutuhan Khusus. Dalam http://blog.uin-malang.ac.id/ansur/2011/06/14/strategi-pembelajaran-bagi-anak-berkebutuhan-khusus/ diakses
pada tanggal 16 November 2012 Pukul 20.00 WIB.
Admin.
2012. SLB-K Batam. http://slb-kbatam.org/index.php?pilih=hal&id=76 diakses pada tanggal 18 November 2012 Pukul 14.30 WIB
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar